Membangun Pertanian Beretika: Respon Atas Kritik Dampak Pembangunan Sistem Pertanian terhadap Degradasi Lingkungan

(oleh: Widiyanto, Dosen PKP UNS)

Pertanian (agriculture) merupakan proses-proses dari tiga kerangka lingkungan, yaitu: lingkungan biofisik (biophisycal environment), lingkungan sosial-politik (social-politycal environment) dan lingkungan ekonomi-teknologi (economic and technological environment). Keterlekatan ilmu pertanian dengan bidang ilmu lainnya membawa beberapa konsekuensi, misalnya: ilmu pertanian harus memperhatikan etika lingkungan. Persoalan yang muncul saat ini yaitu pertanian seringkali kurang memperhatikan berbagai etika (etika pertanian dan etika lainnya, misalnya lingkungan) sehingga menyebabkan perubahan ligkungan yang berdampak negatif.

Berakhirnya perang dunia 1945, isu kekurangan nutrisi meluas sehingga perlu peningkatan produksi pangan terutama di Negara berkembang. Menjawab masalah tersebut, sistem pertanian diorientasikan untuk peningkatan produksi melalui pengembangan teknologi untuk menyediakan pangan. Sistem ini berusaha memaksimalkan produksi dengan intensifikasi pertanian (input kimia, green revolution, rekayasa genetika). Seiring dengan meningkatnya produktivitas, fokus terhadap produksi pangan bergeser pada konteks peningkatan ekonomi petani, pertanian Barat menjadi kiblat baru untuk mencapai tujuan ekonomi tersebut. Namun di sisi lain, permasalahan teknologi modern sekaligus membawa persoalan lingkungan yang serius. Rachel Carson (1962) melakukan penelitian penggunaan DDT yang ternyata berdampak kanker dan kerusakan genetik. Pemikiran inilah yang menyebabkan diskusi panjang mengenai dampak aktivitas pertanian terhadap lingkungan, serta menimbulkan berbagai bentuk kritik terhadap revolusi hijau.

Akhirnya muncullah istilah sustainability (dalam United Nations World Commission on the Environment and Development Report tahun 1987) yang berkembang menjadi Sustainable Agriculture (AS). AS mencakup 4 kriteria yaitu:1) ecologically sound: menghindari sistem yang merusak serta efisien; 2) economically sound: menguntungkan. 3) socially just: keadilan distribusi semberdaya dan kekuasaan dan 4) human: kesadaran petani dan praktisi untuk menjaga keseimbangan. Thompson (1995) mengkalim bahwa semua praktisi pertanian harus mengembangkan dasar etika dalam kegiatan pertanian. Artinya, pertanian kini diorientasikan kearah menjaga lingkungan agar tetap sustain yang melibatkan berbagai pihak praktisi.

Mengingat bahwa ilmu pertanian berlekatan dengan bidang ilmu lainnya serta fakta berubahnya orientasi pertanian dari waktu ke waktu, kita perlu merunut kembali hakikat tujuan kegiatan pertania. Aiken (1984), tujuan pertanian tidak sekedar berorientasi keuntungan semata, melainkan aspek keberlanjutan, keselamatan lingkungan, memuaskan kebutuhan manusia serta keadilan sosial. Disampaikan Mubyarto (1947), selain berorientasi pendapatan, pertanian harus menempatkan subyek petani tidak hanya sebagai homo economicus, tetapi juga homo socius dan homo religious. Selanjutnya Leopard (1947) menyatakan pertanian tidak sekedar berpikir dalam aspek ekonomi saja, tetapi tanggungjawab menjaga lahan dari ancaman kerusakan.

Selanjutnya, etika menjadi sangat penting dalam aktivitas pertanian. Etika mengatur dan membantu menentukan langkah yang tepat secara bijaksana. Namun demikian, membangun bertanian menjadi ber-etika tidaklah mudah.

OPINI:
Etika memperlakukan alam sangatlah penting dalam kegiatan pertanian. Selama ini alam dijadikan obyek untuk memenuhi keinginan manusia, ditandai dengan orientasi terhadap aktivitas pertanian terus berubah seenaknya sesuai kebutuhan manusia. Manusia dikaruniai akal, sepantasnya mampu menimbang segala akibat dari eksploitasi alam yang berlebihan dengan bijaksana. Manusia harus merubah pola pikir mereka terhadap alam agar tidak terjadi kerusakan yang yang mengancam kehidupannya sendiri, menyingkirkan kepentingan ekonomi untuk memberi ruang nyata demi kelestarian lingkungan. Kelestarian alam akan menjamin kehidupan mereka sendiri di masa yang akan datang.

Tinggalkan komentar