Aku (tak) Ingin Pindah Rumah

pena-berbulu-dan-buku

”..aku ingin pindah rumah
tapi ternyata sama
karena kutinggal di tanah indonesia
tanah yang kucinta
namun kini tak berdaya
di tangan para durjana”

Sepenggal puisi karya Menning Alamsyah tiba-tiba menggelayut dalam pikiran. Potongan puisi yang kemarin tanpa sengaja kutemukan di jagad pencarian terluas di dunia, apa lagi kalau bukan Google. Seperti dalam puisi itu, manusia kini berkuasa, melicinkan jalannya menuju tujuan sebelum didahului orang lain. Ya, dunia kini serupa kompetisi. Meski tidak bisa dipungkiri, sesungguhnya yang kita perebutkan di dunia ini tidak selalu hal-hal yang baik. Manusia sudah tak lagi malu beradu kekuatan untuk memperebutkan hal yang sebenarnya memalukan; jabatan, kekayaan, kebebasan.

Kumatikan siaran televisi ketika mendengar dering Handphone di kamar. Setidaknya pikiranku sudah terbarui meski dengan berita tawuran sekelompok remaja di jalanan Jakarta. Miris, baru kemarin sore aku mendapat kabar dari Rudi, teman akrab SMP ku yang baru saja mendapat kerja di Jakarta sebagai penjaga fotocopy sekitar kampus ternama disana.

“Aku berharap bisa memperbaiki nasib keluarga, Ta. Aku merasa bertanggungjawab pada orangtuaku. Ya semoga saja bisa dapat pekerjaan yang lebih layak, walaupun hanya berbekal ijasah SMK,” katanya penuh harap. Ia begitu bersyukur karena telah tiga tahun kerja serabutan di kampung halaman, desa terpencil di ujung timur Wonogiri. Hijrah ke Jakarta membawa harapan. Jakarta, satu kota yang memuat banyak peristiwa berkebalikan dalam waktu bersamaan. Benar-benar kontras, setidaknya aku berhasil menyandingkan kisah Rudi dengan perilaku bodoh para remaja pelaku tawuran itu.

Hari kedua kongres, sidang siang itu harus segera diakhiri. Semua lelah, ditengah pengap dan panas ruangan tentu terasa sulit berfikir jernih. Utusan pemuda dari Jong Bataks Bond dan Jong Islamieten Bond nampak berunding sendiri sementara Sunario sedang berpidato, barangkali punya gambaran sendiri. Barisan Pemoeda Indonesia dan utusan yang lain mulai menyimpan resah. Namun hembusan nafas semangat juang akan kebebasan terus membara. “Kalau bukan kita, siapa lagi?,” pungkas Sunario mengakhiri pidatonya.

Otak Yamin terus berpikir, memanas. Sebagai Sekretaris Panitia ia mesti memasang telinga benar-benar, tak boleh ada informasi yang terlewat dari kongres yang telah berjalan selama dua hari ini. Sesekali ia memainkan bolpin, entah apa yang ia tulis. Soegondo, Ketua Panitia Kongres yang duduk tak jauh dari Yamin juga nampak gelisah meski dengan ekspresi yang berbeda. Agaknya memang berbeda alur kegelisahan mereka.

“Satu hal yang pasti, Ta. Keputusan untuk berada disini memang kita yang memilih, terlepas dari keputusan setengah hati atau penuh pertimbangan. Tapi harus kau ingat, Allah yang mengantar langkahmu kesini. Dia-lah pengendali sekaligus pemutus perkara. Kau suka atau tidak, beginilah takdir. Waktu tak bisa diundur, lakukan saja yang terbaik semampu kita,” mata Mas Fadil tetap menatap kitab entah apa namanya. Kata-katanya menembus relung kalbu. Tepat saat ketenangan bisa kudapat dan mulai menyembul ke permukaan, beliau beralih menatap mataku.

Aku ragu membalas tatapannya, beliau sangat kusegani. “Mas, saya butuh penguat. Ini bukan mimpi saya, bagaimana saya bisa berkarya jika saya berada di tempat yang tidak saya minati?,” entah sesumbang apa suara yang keluar dari mulutku. Aku menunduk lagi.

Aku lelaki, tapi gambaran impian masa lalu yang gagal kuraih telah berhasil membuat mataku panas. Jika saat ini aku tak berada di selasar masjid kampus yang lumayan ramai, barangkali berderai-derai sudah airmataku. Ah.. laki-laki memang boleh menangis bukan?

“Nah kalau begitu tergantung ketegasanmu, Ta! Mau berhenti, atau lanjut? Selagi belum masuk semester dua,” kali ini Mas Fadil menutup kitabnya, beliau menatap serius padaku.

Kuhembuskan nafas pelan. Baru semenit lalu Mas Fadil menguatkan langkahku untuk tetap di Fakultas Pertanian ini dan memangkas habis mimpiku untuk jadi seorang arsitek. Kini pertanyaan barunya bagai kerikil dalam kaos kaki, mengganjal tak nyaman dalam hati. Entah mungkin aku kah yang terlalu sensitif sekarang. Aku butuh solusi! Bukan pertanyaan yang memang setiap hari kutanyakan pada diriku sendiri, pada pintu, pada batu, pada langit!

“Tanyakan pada nuranimu, Dik. Serahkan pada-Nya, ikhtiarkan mumpung masih ada waktu,” Mas Fadil seperti dapat mendengar kata hatiku, aku malu.

“Makasih, Mas,” senyumku barangkali tak kalah kecut dengan air asam.

Nasihat yang biasa, tapi kata-kata Mas Fadil tadi tetap menjadi pengingat bagiku. Kesehatan jiwa seseorang tak selalu pada tingkatan paling atas, karenanya aku selalu haus akan kata-kata bijak sederhana setidaknya untuk memperbarui dan menyegarkan hati. Sebagai kakak tingkat yang supel dan penuh prestasi membuat kata-kata sederhana Mas Fadil jadi terdengar luar biasa, tidak hanya di telingaku barangkali.

Entah mengapa semilir sejuk udara di selasar masjid FP bercat hijau ini terasa dingin, membekukan hatiku yang sedang dilanda puncak kegalauan. Berhenti, atau lanjut? Tetap disini, atau mengejar mimpi utamaku, jadi Arsitek? Disaat seperti ini aku kembali merasa sendiri.

Mas Fadil kini mengganti topik pembicaraan seputar tabligh akbar seminggu lalu, ia bangga dengan kinerja panitia yang tak lain ialah adik tingkatnya, termasuk aku. Namun pikiranku melayang. Melayang menuju mimpiku yang masih tersimpan dalan dalam sudut hati.

Yamin manggut-manggut, masih dengan mata menerawang jauh kedalam kertas dihadapannya. Gedung Katholieke Jongenlingen Bond semakin menggelora seiring waktu berjalan menuju penghujung kongres. Tiba-tiba ia menegakkan posisi duduk, seperti ada ruh baru merasuk dalam raga yang sebelumnya nampak gundah. Matanya berbinar. Kali ini ia menulis dengan cepat, tangannya seperti digerakkan oleh keyakinan yang terpancar dari raut tegasnya.

Soegondo pecah konsentrasi karena terganggu secarik kertas yang disodorkan dihadapannya, oleh Yamin. Ia amati susunan kalimat yang berjajar disana. Beberapa detik kemudian, ia menoleh pada sang empunya kertas sembari mengangguk yakin. Anggukan dari sang Ketua agaknya membuat Yamin makin percaya dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Dalam hitungan menit, secarik kertas dari Yamin sudah berpindah dari tangan ke tangan, menjalin harapan demi harapan. Bergantian semua panitia inti membaca tulisan Yamin, sejurus kemudian mereka semua mengangguk tanda setuju. Berkat tulisan dari Yamin, sang Ketua ‘terpaksa’ merancang bagaimana kongres hari ini diakhiri. Ya, harus ada hentakan.

Jam tanganku menunjuk 14.45. Aku ingin kembali ke kos saja, mengerjakan tugas dan merenungi kalimat Mas Fadil. Tidak ada agenda apapun di sore hari nanti, termasuk di SKI. Mas Fadil juga sudah nampak sibuk menebar senyum pada temannya dan teman seangkatanku yang menyapanya. Masjid ini sudah seperti markas baginya. Jika bingung mencari Mas Fadil, tinggal ke masjid saja. “Mumpung belum terlalu sibuk dengan skripsi, Dik. Aku ingin terus memakmurkan masjid FP tercinta ini,” katanya suatu hari.

Baru beberapa langkah berjalan membelakangi masjid. “Arta.. Arta..,” seseorang memanggilku dari arah gedung B yang bernuansa hijau. Gedung yang menjadi pusatnya kegiatan mahasiswa di fakultas Pertanian ini. “Gimana kabarnya, Sobat? Mukamu nampak lesu begitu?,” Ubay kini berjalan beriringan denganku.

Ubay, temanku dari jurusan Agroteknologi ini selalu terlihat antusias ketika bercakap-cakap dengan lawan bicaranya. Tidak hanya denganku, pada setiap orang yang ia temui selalu begitu. Raut ketegasan jelas tergambar di wajahnya, lelucon renyah siap ia luncurkan di saat-saat yang tepat. Ia kabarnya juga aktif membangun gairah diskusi saat perkuliahan. Ide-ide kreatif sering muncul dari kepalanya saat rapat kegiatan SKI. Entah, ia selalu terlihat tulus dengan keaktifannya itu. Barangkali itu juga yang membuatnya dikenal oleh semua mahasiswa diluar jurusan bahkan fakultas.

“Sehat Alhamdulillah. Hanya sedikit pusing dengan tugas. Ini mau pulang ke kos, ente masih ada kuliah?” kataku sambil menjabat tangannya. Ia nampak menenteng buku bahan kuliah.

“Ndak ada, baru selesai,” wajahnya nampak sumringah, seperti biasa. Aku terpaksa mengikuti ekspresi sumringahnya

“Eh.. ente mending ikut saya, kutunjukkan tempat yang sejuk. Ada banyak inspirasi disana,” alisnya terangkat.

Soegondo sudah berdiri tegap di podium, menatap peserta kongres dengan mata tajamnya. Malam ini, kongres harus ditutup dengan sebuah gebrakan batin untuk mereka yang mengaku peduli pada bangsa ini. Yamin yang masih duduk ditempatnya semula. Tulisannya yang bakal dibacakan oleh sang Ketua Kongres barangkali lebih serius dari naskah drama Ken Arok dan Ken Dedes serta puisi penuh makna yang pernah ia tulis sebelumnya.

Batin Yamin sendiri sebenarnya risau karena kalimat yang ia tulis bukan hasil diskusi para petinggi Kongres, melainkan hasil otak-atiknya sendiri. Walaupun semua percaya padanya, sebagai mahasiswa tahun pertama Rechts Hooge School atau Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta ia dipastikan mampu menyusun rumusan hasil kongres dengan baik sesuai tugasnya.

“Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”

Serempak, secarik tulisan Yamin ditangan Soegodo Djojopoespito kini beralih menjadi ikrar para muda yang memenuhi Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat ini. Ikrar yang tak hanya sekedar ikrar. Indonesia, negeri yang sudah terlalu lama terluka ini harus bangun. Setidaknya di tangan-tangan pemuda lah kejayaan yang dirindukan itu, resolusi pemuda Indonesia.

Yamin turut berikrar, ada haru dihatinya menyadari tanggung jawab lebih besar mulai hari ini. Semua peserta termasuk Soegondo merinding dengan kata-kata yang ditulis pemuda 25 tahun itu. Yamin memang pantas merumuskan Sumpah yang nantinya akan jadi sejarah ini. Sosok yang dikenal tegas berpendapat sejak Kongres pertama tanggal 30 April-2 Mei yang lalu. Yamin, menginspirasi pemuda Indonesia dengan tulisan penggugah, Ikrar Sumpah Pemuda.

~~~

“Ubay.. Ubay..” aku berbisik sambil menggoyangkan tubuh Ubay.

Ia yang semangat mengajakku ke Perpustakaan Fakultas, tapi ia malah tidur pulas. Benar kata Ubay, ruangan ini begitu sejuk sampai ia ketiduran. Awalnya aku menyambut ajakannya karena kukira tempat yang ia maksud adalah alam bebas, ternyata perputakaan FP yang sejuk karena AC. Ubay membuka mata dan melihat arloji di tangannya, “Wah.. telat Ashar tiga puluh menit ya?”.

Aku memang tidak berselera mengambil buku bahan kuliah seperti Ubay, yang meski olehya hanya dijadikan bantal tidur di ruang baca. Aku mengambil buku sejarah. Ah ini pelajaran yang paling membuatku ngantuk waktu SMA dulu. Entah mengapa aku tertarik membaca barisan kata “Sumpah Pemuda”, mungkin karena momen bersejarah itu sebentar lagi.

Aku membaca tentang sosok Yamin. Sosok yang karena tulisannya mampu menggugah semangat pemuda masa dahulu. Betapa mudah menyemangati pemuda era dahulu untuk berbuat baik.

Jika kubandingkan dengan keadaan jaman sekarang. Ternyata begitu mudah menghipnotis muda-mudi modern mengikuti arus perkembangan jaman yang malah mengotori budaya luhur Indonesia. Nasionalisme? Jangan ditanya, teknologi kubilang telah mengaburkan segalanya. Jabatan, kekayaan dan kekuasaan membutakan mata manusia.

Kini, sebuah keyakinan telah bertunas di hatiku, aku akan bertahan di “lahan” Pertanian ini. Aku harus seperti Yamin, yang meski dalam keadaan jauh dari kebebasan tetap memberi sumbangsih nyata untuk negeri. Meski ragu masih tetap bercokol dalam benakku, tetapi setidaknya hatiku sudah tercondong pada salah satu pilihan. Selanjutnya aku akan mencari penguat, seperti akar yang harus menyebar agar pohon tetap kokoh. Aku harus mencari teman yang menguatkan langkahku, menyibukkan diri dengan hal-hal yang makin membuka mata batin untuk semakin mencintai. Mencintai, mencintai tempat kuberada kini.

Iseng, aku menyusun puisi yang hampir mirip karya Menning Alamsyah yang tadi pagi kurenungi di depan televisi sebelum berangkat kuliah. Begini puisiku,
”..aku (tak) ingin pindah rumah
kan kucintai rumahku kini
kuhias seindah mungkin
karena di rumah inilah..
aku akan berkarya”

 

~~~~~0~~~~~

Bulukerto, Wonogiri
Oktober 2014

Cerpen ini ditulis kira-kira H-2 Sumpah Pemuda, entah memperoleh inspirasi darimana. Mungkin karena saat sedang pulang kampung di Wonogiri dan melihat tumpukan buku masa SD, ada pelajaran sejarah. 🙂

4 thoughts on “Aku (tak) Ingin Pindah Rumah

  1. Menning berkata:

    Ah, ada puisiku nampan di sini hehehe

  2. Menning Alamsyah berkata:

    Oh, ada puisiku di sini 🙂 minjam link nya ya untuk ditempel di sini:

    http://menning-alamsyah.blogspot.com/2015/02/kejutan.html

    Terima kasih 🙂

Tinggalkan komentar